Rabu, 30 Desember 2015

LAPORAN PRAKTIKUM AVERTEBRATA AIR : PENGARUH EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP ORGANISME DIDALAMNYA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.508 buah pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km (Soegiarto, 1984). Indonesia sebuah negara yang dilalui oleh garis khatulistiwa (tropis) mempunyai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Organisme diperairan merupakan salah satu contohnya. Organisme diperairan juga terbagi atas 2 yaitu organisme yang bertulang belakang (vertebrata) dan organisme yang tidak bertulang belakang (avertebrata). Arthropoda adalah salah satu filum dari jenis organisme yang bertulang belakang. Arthropoda adalah hewan yang memiliki kaki bersendi atau beruas-ruas, dan arthropoda merupakan filum terbesar dari kingdom Animalia. Jumlah spesiesnya lebih banyak dari filum-filum lainnya. Filum arthropoda dapat dibedakan berdasarkan morfologi dan tempat hidupnya menjadi 4 subfilum, salah satunya adalah subfilum crustacean. Crustacea adalah hewan arthropoda yang hidup di air, misalnya kepiting, udang, lobster, dan bernakel (Saenab, 2011).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Phylum Mollusca
2.1.1 Pengertian Mollusca
Mollusca berasal dari bahasa latin yaitu molluscus yang artinya lunak. Jadi adalah kelompok hewan invertebrata yang memiliki tubuh lunak. Tubuh lunaknya itu dilindungi oleh cangkang, meskipun ada juga yang tidak bercangkang. Mollusca yang sudah tidak asing lagi bagi kita adalah siput. Siput merupakan salah satu Mollusca yang termasuk ke dalam kelas gastropoda. yaitu berjalan dengan menggunakan perutnya (Maulani M.F dkk., 2014).
          Maulani M.F dkk., 2014 menyatakan bahwa Mollusca terdiri dari tiga bagian utama yaitu sebagai berikut :
1.      Kaki
Kaki merupakan perpanjangan/penjuluran dari bagian Ventral tubuh yang berotot. Kaki berfungsi untuk bergerak. Pada sebagian Mollusca kaki telah termodifikasi menjadi tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa.
2.      Massa Viseral
Massa viseral adalah bagian tubuh yang lunak dari Mollusca. Di dalam massa viseral terdapat organ-organ seperti organ pencernaan, ekskresi, dan reproduksi. Massa viseral dilindungi oleh mantel.

3.      Mantel
Mantel adalah jaringan tebal yang melindungi massa viseral. Mantel membentuk suatu rongga yang disebut rongga mantel. Di dalam rongga mantel berisi cairan. Cairan tersebut adalah tempat lubang insang, lubang ekskresi dan anus.
Maulani M.F dkk., (2014) Mollusca hidup secara heterotrof dengan memakan organisme lain. Misalnya ganggan, ikan, ataupun Mollusca lainnya. Mollusca hidup di air maupun di darat. Mollusca yang hidup di air contohnya sotong dan gurita. Sedangkan yang hidup di darat contohnya siput. Mollusca yang hidup di air bernafas dengan insang yang berada pada rongga mantel.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Phylum Mollusca
2.1.1 Pengertian Mollusca
Mollusca berasal dari bahasa latin yaitu molluscus yang artinya lunak. Jadi adalah kelompok hewan invertebrata yang memiliki tubuh lunak. Tubuh lunaknya itu dilindungi oleh cangkang, meskipun ada juga yang tidak bercangkang. Mollusca yang sudah tidak asing lagi bagi kita adalah siput. Siput merupakan salah satu Mollusca yang termasuk ke dalam kelas gastropoda. yaitu berjalan dengan menggunakan perutnya (Maulani M.F dkk., 2014).
          Maulani M.F dkk., 2014 menyatakan bahwa Mollusca terdiri dari tiga bagian utama yaitu sebagai berikut :
1.      Kaki
Kaki merupakan perpanjangan/penjuluran dari bagian Ventral tubuh yang berotot. Kaki berfungsi untuk bergerak. Pada sebagian Mollusca kaki telah termodifikasi menjadi tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa.
2.      Massa Viseral
Massa viseral adalah bagian tubuh yang lunak dari Mollusca. Di dalam massa viseral terdapat organ-organ seperti organ pencernaan, ekskresi, dan reproduksi. Massa viseral dilindungi oleh mantel.

3.      Mantel
Mantel adalah jaringan tebal yang melindungi massa viseral. Mantel membentuk suatu rongga yang disebut rongga mantel. Di dalam rongga mantel berisi cairan. Cairan tersebut adalah tempat lubang insang, lubang ekskresi dan anus.
Maulani M.F dkk., (2014) Mollusca hidup secara heterotrof dengan memakan organisme lain. Misalnya ganggan, ikan, ataupun Mollusca lainnya. Mollusca hidup di air maupun di darat. Mollusca yang hidup di air contohnya sotong dan gurita. Sedangkan yang hidup di darat contohnya siput. Mollusca yang hidup di air bernafas dengan insang yang berada pada rongga mantel. 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Phylum Mollusca
2.1.1 Pengertian Mollusca
Mollusca berasal dari bahasa latin yaitu molluscus yang artinya lunak. Jadi adalah kelompok hewan invertebrata yang memiliki tubuh lunak. Tubuh lunaknya itu dilindungi oleh cangkang, meskipun ada juga yang tidak bercangkang. Mollusca yang sudah tidak asing lagi bagi kita adalah siput. Siput merupakan salah satu Mollusca yang termasuk ke dalam kelas gastropoda. yaitu berjalan dengan menggunakan perutnya (Maulani M.F dkk., 2014).
          Maulani M.F dkk., 2014 menyatakan bahwa Mollusca terdiri dari tiga bagian utama yaitu sebagai berikut :
1.      Kaki
Kaki merupakan perpanjangan/penjuluran dari bagian Ventral tubuh yang berotot. Kaki berfungsi untuk bergerak. Pada sebagian Mollusca kaki telah termodifikasi menjadi tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa.
2.      Massa Viseral
Massa viseral adalah bagian tubuh yang lunak dari Mollusca. Di dalam massa viseral terdapat organ-organ seperti organ pencernaan, ekskresi, dan reproduksi. Massa viseral dilindungi oleh mantel.

3.      Mantel
Mantel adalah jaringan tebal yang melindungi massa viseral. Mantel membentuk suatu rongga yang disebut rongga mantel. Di dalam rongga mantel berisi cairan. Cairan tersebut adalah tempat lubang insang, lubang ekskresi dan anus.
Maulani M.F dkk., (2014) Mollusca hidup secara heterotrof dengan memakan organisme lain. Misalnya ganggan, ikan, ataupun Mollusca lainnya. Mollusca hidup di air maupun di darat. Mollusca yang hidup di air contohnya sotong dan gurita. Sedangkan yang hidup di darat contohnya siput. Mollusca yang hidup di air bernafas dengan insang yang berada pada rongga mantel. 
2.2 Phylum Arthropoda
Arthropoda adalah salah satu filum dari jenis organisme yang bertulang belakang. Arthropoda adalah hewan yang memiliki kaki bersendi atau beruas-ruas, dan arthropoda merupakan filum terbesar dari kingdom Animalia. Jumlah spesiesnya lebih banyak dari filum-filum lainnya. Filum arthropoda dapat dibedakan berdasarkan morfologi dan tempat hidupnya menjadi 4 subfilum, salah satunya adalah subfilum crustacea (Muhamad, 2013).
2.2.1 Subfilum Crustacea
Subfilum crustacea pada umumnya merupakan hewan akuatik. Kata crustacea berasal dari bahasa Latin, yaitu crusta yang berarti cangkang yang keras. Sifat umum dari kelas ini adalah kerangka luar keras yang terbuat dari kitin, yakni polisakarida majemuk yaitu suatu jenis karbohidrat. Cangkang dihasilkan oleh epidermis dan karena sifatnya yang tidak elastis jika mengeras, dimana tubuhnya ditinggalkan secara berkala untuk memungkinkan hewan tumbuh.
crustacea merupakan golongan hewan yang tubuhnya memiliki ruas-ruas dan segmen. pada umumnya hewan ini terdapat di air laut dan di air tawar. Contoh dari hewan ini berupa udang putih, udang windu, kepiting bakau, kepiting rajungan,  dan lobster (Aslan, 2010).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2.1 Kepiting Bakau (Scylla sp.)
Kepiting bakau mempunyai beberapa spesies antara lain Scylla serrata, Scylla transquebarica, dan Scylla oceanica . Menurut Kasry (1991) kepiting bakau diklasifikasikan sebagai berikut.
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Ordo : Decapoda
Subordo : Branchyura
Famili : Portunidae
Sub Famili : Lipulinae
Genus : Scylla
Kepiting bakau tergolong kelas Krustasea dan ordo Dekapoda, dengan ditandai oleh adanya 5 pasang kaki. Pasangan kaki pertama disebut capit yang berperan sebagai alat pemegang/penangkap makanan, pasangan kaki kelima berbentuk seperti kipas (pipih) dan berfungsi sebagai kaki renang, dan pasangan kaki lainnya berfungsi sebagai kaki jalan (Kordi 2012). Kepiting bakau merupakan salah satu jenis dari sub ordo Branchyura, yang memiliki bentuk melebar melintang, serta bagian 7 perutnya tidak terlihat karena melipat ke dadanya, tidak ada duri ekor dan daun ekor, adapun kepiting jantan memiliki bentuk perut sempit dan meruncing ke depan sedang betina melebar dan setengah lonjong, banyak ditemukan di tambak ikan dekat pantai, hidup dalam lubang-lubang atau terdapat pada pantai-pantai yang ditumbuhi pohon mangrove, dan memiliki warna hijau kotor. Genus Scylla ditandai oleh bentuk karapas yang oval dengan bagian depan yang memiliki 9 duri pada pada sisi kanan dan kiri, serta 6 duri di antara kedua matanya (Kordi 2012). Kedua matanya menempel di tepi bagian depan karapas yang juga dilengkapi dengan tangkai, sehingga kedua matanya dapat digerakgerakkan lebih leluasa. Jika ada gangguan dari luar, sebagai perlindungan matanya ditempelkan rapat-rapat ke kelopaknya, serta di antara kedua matanya ini terletak mulutnya. Panjang karapasnya kurang lebih dua pertiga dari lebarnya, permukaan karapasnya hampir semuanya licin kecuali pada beberapa lekuk berbintik kasar (Kordi 2012).
4.2.2 Faunus ater
Menurut Sudiarta (2011), Faunus ater merupakan siput air payau atau istilah bahasa internasional-nya “Brackish Snail”. Genus Faunus hanya memiliki satu spesies saja, dan genus faunus masuk dalam keluarga Pachychilids. Keluarga Pachychilids merupakan keluarga siput air tawar, hanya species faunus ater sajalah yang hidup atau ditemukan di air payau. Siput dalam keluarga ini dapat ditemukan di amerika bagian selatan maupun tengah, afrika, madagaskar, asia bagian selatan atau asia tenggara dan australia.
Faunus ater tersebar di beberapa bagian yaitu india, sri lanka, pulau andaman, malaysia, myanmar, thailand, singapore, indonesia, philippines, new guinea, pulau solomon, australia bagian utara, dan china. Faunus ater salah satu siput yang berkembang biak melalui telur atau oviparous. Siput ini biasanya digunakan sebagai makanan manusia di negara philipina dan thailand, di indonesiapun beberapa bagian penduduk memakan siput ini (Sudiarta, 2011).
Klasifikasi ilmiah Faunus ater sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class : Gastropoda
Superfamily : Cerithioidea
Family : Pachychilidae
Spesies : Faunus ater
Faunus ater ini memiliki ciri cangkang yang tebal, dan warna cangkang adalah coklat gelap atau hitam. Faunus ater ini biasa hidup menempel di dasar perairan yang suhunya lembab contohnya mangrove. Mempunyai alat reproduksi jantan dan betina yang bergabung atau disebut juga ovotestes. Di ovotestes inilah dihasilkan sprema dan ovum. Faunus ater ini kehidupannya bergantung pada ketersediaan makanan yang ada di mangrove (Aswan, 2013).


BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa organisme yang ditemukan di ekosistem mangrove pantai minanga yaitu sebagai berikut :
1)      Faunus ater : adalah hewan avertebeata dari filum molusca class gastropoda yang hidup di ekosistem mangrove.
2)      Kepiting bakau (Scylla sp) : kepiting bakau adalah hewan avertebrata dari filum arthropoda dengan subfilum crustacea yang menjalani hidupnya dengan beruaya dari perairan pantai ke laut, kemudian induk berusaha ke perairan pantai, muara sungai. Kepiting ini memiliki kebiasaan yaitu membenamkan diri ke dasar perairan atau pasir, dan hewan ini tergolong hewan karnivora.

LAPORAN PRAKTIKUM AMDAL : PENGARUH PEMBANGUNAN EKOWISATA DI PANTAI MINANGA DESA KOTAJIN KECAMATAN ATINGGOLA KABUPATEN GORUT

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Wilayah pantai dan pesisir mempunyai sifat atau ciri yang unik, merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, dan mengandung kekayaan sumberdaya alam yang beranekaragam seperti ekosistem hutan mangrove. Ekowisata merupakan salah satu usaha yang memprioritaskan berbagai produk-produk pariwisata berdasarkan sumberdaya alam, pengelolaan ekowisata untuk meminimalkan dampak terhadap lingkungan hidup, pendidikan yang berasaskan lingkungan hidup, sumbangan kepada upaya konservasi dan meningkatkan kesejahteraan untuk masyarakat lokal (World Tourism Organization, 2002). Wisata ekologis merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia (Yulianda, 2007). Ekowisata pesisir dan laut tidak hanya menjual tujuan atau objek, tetapi juga menjual filosofi dan rasa sehingga tidak akan mengenal kejenuhan pasar pariwisata (Tuwo, 2011). Pembangunan ekowisata berkelanjutan bertujuan untuk menyediakan kualitas pengalaman wisatawan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal (Fennell, 2008).
Pantai Minanga yang berada di Provinsi Gorontalo tepatnya  di Kabupaten Gorontalo Utara Kecamatan Atinggola Desa Kotajin merupakan salah satu potensi pariwisata pesisir dan laut yang sangat menarik karena pada zaman dahulu disini merupakan tempat “Mandi Syafar” bagi umat muslim khususnya daerah Gorontalo dalam rangka memperingati maulid nabi, yang sampai sekarang masih menjadi prioritas utama pantai ini. Pantai minanga ini sekarang menjadi tempat wisata  yang bertujuan untuk pengaembangan kegiatan ekonomi dan social masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.

Disekitar pantai minanga ini telah banyak dilaukukan pembangunan infrastruktur untuk menarik minat para pengunjung. Berhubungan dengan lokasi pantai ini yang jauh dari permukiman warga maka didirikan Homestay (cottage), MCK, dll. Pembangunan ekowisata pastinya mempunyai pengaruh ekonomi, social, dan budaya masyarakat disekitar pantai tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian AMDAL
AMDAL merupakan singkatan dari "Analisis Mengenai Dampak Lingkungan”. Amdal itu sendiri adalah sebuah proses studi yang digunakan untuk memperkirakan dampak yang akan terjadi ketika dilakukan pembangunan suatu proyek atau usaha. Oleh karena itu, dibutuhkan analisis pada tahap awal atau pada saat perencanaan pembangunan yang bertujuan agar tidak terjadi masalah pada proses pembangunan maupun setelah pembangunan.
2.2 Pengertian Ekowisata
Ekowisata merupakan suatu konsep yang mengkombinasikan kepentingan industri kepariwisataan dengan para pencinta lingkungan. Para pencinta lingkungan menyatakan bahwa perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup hanya dapat tercapai dengan melibatkan orang-orang yang tinggal dan mengantungkan hidupnya pada daerah yang akan dikembangkan menjadi suatu kawasan wisata dan menjadikan mereka partner dalam upaya pengembangan wisata tersebut. Metode ini diperkenalkan oleh Presiden World Wild Fund (WWF) pada konfrensi tahunan ke-40 Asosiasi Perjalanan Asia Pasifik (PATA). Ekowisata pada saat sekarang ini menjadi aktivitas ekonomi yang penting yang memberikan kesempatan kepada wisatawan untuk mendapatkan pengalaman mengenai alam dan budaya untuk dipelajari dan memahami betapa pentingnya konservasi keanekaragaman hayati dan budaya lokal. Pada saat yang sama ekowisata dapat memberikan generating income untuk kegiatan konservasi dan keuntungan ekonomi pada masyarakat yang tingal di sekitar lokasi ekowisata (Armos N.H, 2013.



2.3 Ekowisata Berbasis Masyarakat
Pola ekowisata berbasis masyarakat adalah pola pengembangan ekowisata yang mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh oleh masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha ekowisata dan segala keuntungan yang diperoleh. Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola (Tarmid M, 2011)
Menurut Tarmid, 2011 Ekowisata berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk turis: fee pemandu; ongkos transportasi; homestay; menjual kerajinan, dll. Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata. Dengan adanya pola ekowisata berbasis masyarakat bukan berarti bahwa masyarakat akan menjalankan usaha ekowisata sendiri. Tataran implementasi ekowisata perlu dipandang sebagai bagian dari perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan di suatu daerah. Untuk itu, pelibatan para pihak terkait mulai dari level komunitas, masyarakat, pemerintah, dunia usaha dan organisasi non pemerintah diharapkan membangun suatu jaringan dan menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai peran dan keahlian masing-masing.


2.4 Dampak Pembangunan Wisata Terhadap Lingkungan Hidup
Industri pariwisata memiliki hubungan erat dan kuat dengan lingkungan fisik. Lingkungan alam merupakan aset pariwisata dan mendapatkan dampak karena sifat lingkungan fisik tersebut yang rapuh (fragile), dan tak terpisahkan (Inseparability). Bersifat rapuh karena lingkungan alam merupakan ciptaan Tuhan yang jika dirusak belum tentu akan tumbuh atau kembali seperti sediakala. Bersifat tidak terpisahkan karena manusia harus mendatangi lingkungan alam untuk dapat menikmatinya.
Lingkungan fisik adalah daya tarik utama kegiatan wisata. Lingkungan fisik meliputi lingkungan alam (flora dan fauna, bentangan alam, dan gejala alam) dan lingkungan buatan (situs kebudayaan, wilayah perkotaan, wilayah pedesaan, dan peninggalan sejarah).
Secara teori, hubungan lingkungan alam dengan pariwisata harus mutual dan bermanfaat. Wisatawan menikmati keindahan alam dan pendapatan yang dibayarkan wisatawan digunakan untuk melindungi dan memelihara alam guna keberlangsungan pariwisata. Hubungan lingkungan dan pariwisata tidak selamanya simbiosa yang mendukung dan menguntungkan sehingga upaya konservasi, apresiasi, dan pendidikan dilakukan agar hubungan keduanya berkelanjutan, tetapi kenyataan yang ada hubungan keduanya justru memunculkan konflik. Pariwisata lebih sering mengeksploitasi lingkungan alam. 
Dampak pariwisata terhadap lingkungan fisik merupakan dampak yang mudah diidentifikasi karena nyata. Pariwisata memberikan keuntungan dan kerugian, sebagai berikut (Sudiarta, 2011) :
1.      Air
Air mendapatkan polusi dari pembuangan limbah cair (detergen pencucian linen hotel) dan limbah padat(sisa makanan tamu). Limbah-limbah itu mencemari laut, danau dan sungai. Air juga mendapatkan polusidari buangan bahan bakar minyak alat transportasi air seperti dari kapal pesiar.Akibat dari pembuangan limbah, maka lingkungan terkontaminasi, kesehatan masyarakat terganggu, perubahan dan kerusakan vegetasi air, nilai estetika perairan berkurang (seperti warna laut berubah dari warnabiru menjadi warna hitam) dan badan air beracun sehingga makanan laut (seafood) menjadi berbahaya.Wisatawan menjadi tidak dapat mandi dan berenang karena air di laut, danau dan sungai tercemar.Masyarakat dan wisatawan saling menjaga kebersihan perairan.Guna mengurangi polusi air, alat transportasi air yang digunakan, yakni angkutan yang ramah lingkungan, seperti : perahu dayung, kayak, dan kano.
2. Atmosfir
Perjalanan menggunakan alat transportasi udadra sangat nyaman dan cepat. Namun, angkutan udara berpotensi merusak atmosfir bumi. Hasil buangan emisinya dilepas di udara yang menyebabkan atmosfir tercemar dan gemuruh mesin pesawat menyebabkan polusi suara. Selain itu, udara tercemar kibat emisi kendaraan darat (mobil, bus) dan bunyi deru mesin kendaraan menyebabkan kebisingan. Akibat polusi udara dan polisi suara, maka nilai wisata berkurang, pengalaman menjadi tidak menyenangkan dan memberikandampak negatif bagi vegetasi dan hewan.Inovasi kendaraan ramah lingkungan dan angkutan udara berpenumpang massal (seperti pesawat Airbus380 dengan kapasitas 500 penumpang) dilakukan guna menekan polusi udara dan suara. Anjuran untukmengurangi kendaraan bermotor juga dilakukan dan kampanye berwisata sepeda ditingkatkan.
 3. Pantai dan pulau
Pantai dan pulau menjadi pilihan destinasi wisata bagi wisatawan. Namun, pantai dan pulau sering menjaditempat yang mendapatkan dampak negatif dari pariwisata. Pembangunan fasilitas wisata di pantai dan pulau, pendirian prasarana (jalan, listrik, air), pembangunan infrastruktur (bandara, pelabuhan) mempengaruhi kapasitas pantai dan pulau.Lingkungan tepian pantai rusak (contoh pembabatan hutan bakau untuk pendirian akomodasi tepi pantai),kerusakan karang laut, hilangnya peruntukan lahan pantai tradisional dan erosi pantai menjadi beberapaakibat pembangunan pariwisata.Preservasi dan konservasi pantai dan laut menjadi pilihan untuk memperpanjang usia pantai dan laut. Pencanangan taman laut dan kawasan konservasi menjadi pilihan. Wisatawan juga ditawarkan kegiatan ekowisata yang bersifat ramah lingkungan. Beberapa pengelola pulau (contoh pengelola Taman NasionalKepulauan Seribu) menawarkan paket perjalanan yang ramah lingkungan yang menawarkan aktivitas menanam lamun dan menanam bakau di laut. 
4. Pegunungan dan area liar
Wisatawan asal daerah bermusim panas memilih berwisata ke pegunungan untuk berganti suasana. Aktivitas di pegunungan berpotensi merusak gunung dan area liarnya. Pembukaan jalur pendakian, pendirian hotel di kaki bukit, pembangunan gondola (cable car), dan pembangunan fasilitas lainnya merupakanbeberapa contoh pembangunan yang berpotensi merusak gunung dan area liar. Akibatnya terjadi tanahlongsor, erosi tanah, menipisnya vegetasi pegunungan (yang bisa menjadi paru-paru masyarakat) ,potensi polusi visual dan banjir yang berlebihan karena gunung tidak mampu menyerap air hujan. Reboisasi (penanaman kembali pepohonan di pegunungan) dan peremajaan pegunungan dilakukan sebagai upaya pencegahan kerusakan pegunungan dan area liar.
5. Vegetasi
Pembalakan liar, pembabatan pepohonan, bahaya kebakaran hutan (akibat api unggun di perkemahan),koleksi bunga, tumbuhan dan jamur untuk kebutuhan wisatawan merupakan beberapa kegiatan yang merusak vegetasi. Akibatnya, terjadi degradasi hutan (berpotensi erosi lahan), perubahan struktur tanaman(misalnya pohon yang seharusnya berbuah setiap tiga bulan berubah menjadi setiap enam bulan, bahkanmenjadi tidak berbuah), hilangnya spesies tanaman langka dan kerusakan habitat tumbuhan. Ekosistemvegetasi menjadi terganggu dan tidak seimbang.
6. Kehidupan satwa liar
Kehidupan satwa liar menjadi daya tarik wisata yang luar biasa. Wisatawan terpesona dengan pola hiduphewan. namun, kegiatan wisata mengganggu kehidupan satwa-satwa tersebut. Komposisi fauna berubahakibat:pemburuan hewan sebagai cinderamata, pelecehan satwa liar untuk fotografi, eksploitasi hewan untuk pertunjukan, gangguan reproduksi hewan (berkembang biak), perubahan insting hewan (contohhewan komodo yang dahulunya hewan ganas menjadi hewan jinak yang dilindungi), migrasi hewan (ketempat yang lebih baik). Jumlah hewan liar berkurang, akibatnya ketika wisatawan mengunjungi daerah wisata, ia tidak lagi mudah menemukan satwa-satwa tersebut
7. Situs sejarah, budaya, dan keagamaan
Penggunaan yang berlebihan untuk kunjungan wisata menyebabkan situs sejarah, budaya dan keagamaanmudah rusak. Kepadatan di daerah wisata, alterasi fungsi awal situs, komersialisasi daerah wisasta menjadi beberapa contoh dampak negatif kegiatan wisata terhadap lingkungan fisik. Situs keagamaan didatangi oleh banyak wisatawan sehingga mengganggu fungsi utama sebagai tempat ibadah yang suci. Situs budaya digunakan secara komersial sehingga dieksploitasi secara berlebihan (contoh Candi menampung jumlah wisatawan yang melebihi kapasitas). Kapasitas daya tampung situs sejarah, budaya dan keagamaan dpat diperkirakan dan dikendalikan melalui manajemen pengunjung sebagai upaya mengurangi kerusakan pada situs sejarah, budaya dan keagamaan. Upaya konservasi dan preservasi serta renovasi dapat dilakukan untuk memperpanjang usia situs-situs tersebut. 


8. Wilayah perkotaan dan pedesaan
Pendirian hotel, restoran, fasilitas wisata, toko cinderamata dan bangunan lain dibutuhkan di daerah tujuanwisata. Seiring dengan pembangunan itu, jumlah kunjungan wisatawan, jumlah kendaraan dan kepadatan lalu lintas jadi meningkat. Hal ini bukan hanya menyebabkan tekanan terhadap lahan, melainkan juga perubahan fungsi lahan tempat tinggal menjadi lahan komersil, kemacetan lalu lintas, polusi udara dan polusi estetika (terutama ketika bangunan didirikan tanpa aturan penataan yang benar). Dampak buruk itu dapatdiatasi dengan melakukan manajemen pengunjung dan penataan wilayah kota atau desa serta membedayakan masyarakat untuk mengambil andil yang besar dalam pembangunan.
2.5 Definisi Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem daratan dan
lautan, yang saling berinteraksi dan membentuk suatu kondisi lingkungan
(ekologis) yang unik (Dahuri
et al., 1996; Brown, 1996). Definisi wilayah pesisir
yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara daratan dan laut; ke
arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam
air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan
perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut
yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di daratan seperti
sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia
di daratan seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri
et al., 2001).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil dan Pembahasan
4.1.1 Dampak Fisik
Dampak fisik yaitu meliputi segala pengaruh yang dapat merubah lingkungan  pembangunan ekowisata Di pantai Minanga dan perubahan itu sangat Nampak atau dapat dilihat dengan kasat mata. Diataranya yaitu pembangunan Homestay, panggung, warung/kantin, MCK dll (sumber ; Data primer).
Tabel 2.  Parameter Fisika
No
Fisika
Aktivitas
Pengaruh
1.
Pembangunan Cotage (homestay)
Mengubah tata guna lahan
2.
Pembangunan kantin/warung
Banyak sampah yang berserakan
3.
Pembangunan MCK
Mencemari pencemaran air
1)      Pembangunan Homestay (cottage)
Pembangunan homestay dapat merubah tata guna lahan yang ada disekitar pantai minanga. Karena dengan adanya homestay ini akan menebang sebagian pohon-pohon dan secara tidak langsung juga mempengaruhi organisme yang hidup didalamnya. Homestay ini digunakan untuk tempat nginap sementara bagi wisatawan yang dating dari luar daerah. Homestay adalah sistem akomodasi yang sering dipakai dalam ekowisata. Homestay bisa mencakup berbagai jenis akomodasi dari penginapan sederhana yang dikelola secara langsung oleh keluarga sampai dengan menginap di rumah keluarga setempat. Homestay bukan hanya sebuah pilihan akomodasi yang tidak memerlukan modal yang tinggi, dengan sistem homestay pemilik rumah dapat merasakan secara langsung manfaat ekonomi dari kunjungan wisatawan tersebut.


2)      Pembangunan Kantin/warung
Pembangunan kantin ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bagi pengunjung yang datang. Kantin ini dikelola oleh masyarakat setempat yang menjual berbagai makan (snack, air mineral, dll), dan ini menyebabkan banyaknya sampah yang berserakan dimana-mana. Kantin ini juga merupakan lapangan kerja bagi masyarakat yang tidak mempunyai pekerjaan (pengangguran) atau sebagai profesi sampingan sebagai nelayan dan petani.
3)      Pembangunan MCK
Untuk melengkapi ekowisata di pantai minanga ini salah satunya yaitu dengan membangun MCK. Pembangunan MCK ini bisa saja dapat mencemari air karena pembuangannya tidak jauh dari perairan, dan juga banyak sampah yang berserakan bahkan dibuang ke daerah perairan (muara sungai).
4.1.2 Parameter Kimia
Parameter kimia dari pembangunan ekowisata di pantai minanga yaitu faktor yang berhubungan dengan bahan kimia yang bisa saja mengganggu lingkungan ekowisata di pantai minanga terutama lingkungan perairan (sumber ; Data primer).
Tabel 3. Parameter Kimia
No
Kimia
Aktivitas
Pengaruh
1.
Penebangan pohon
Berkurangnya jumlah oksigen
Suhu akan lebih panas
2.
Pembuangan sampah/limbah  ke perairan
Mencemari air.
1)      Penebangan pohon
Tumbuhan yang ada disekitar pantai minanga sebagian besar adalah pepohonan yang berfungsi untuk menahan air agar tidak terjadi erosi dan juga sebagai penghasil oksigen (O2). Jika sebagian pohon ini ditebang untuk pembangunan infrastruktur wisata maka fungsi dari pohon atau tumbuhan ini akan berkurang bahkan bisa saja berkurang. Berkurangnya O2 juga dapat merubah suhu lingkungan menjadi lebih panas.
2)      Pembuangan sampah/ limbah ke perairan
Perairan mempunyai fungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan, jika masyarakat maupun pengunjung tidak sadar akan itu maka mereka akan sembarangan membuang sampah di perairan baik itu sampah kering ataupun cair. Sampah atau limbah cair misalnya yang berasal dari air sabun yang mengandung bahan kimia yang bisa saja mencemari air, dan sampah kering seperti kantong plastik dan dedaunan dapat menyebabkan air sulit untuk mengalir, selain itu pembuangan sampah/limbah cair juga mempengaruhi kehidupan biota air.
4.1.3 Parameter Biologi
Parameter biologi yaitu semua yang berhubungan dengan aktivitas manusia yang berpengaruh terhadap kehidupan biota atau organisme yang hidup dalam sebuah ekosistem, misalnya ekosistem mangrove (sumber ; Data primer).
Tabel 4. Parameter Biologi
No
Biologi
Aktivitas
Pengaruh
1.
Penebangan pohon
Berkurangnya jumlah biota atau organisme yang hidup di ekosistem misalnya ekosistem mangrove.
1)      Penebangan pohon
Penebangan pohon selain berpengaruh terhadap jumlah oksigen, juga berpengaruh terhadap jumlah biota yang hidup di ekosistem tersebut. Misalnya ekosistem mangrove. Mangrove berfungsi sebagai tempat mecari makan biota laut bahkan ada juga biota atau organisme yang hidup dan menetap disitu. Maka jika pohon mangrove ini ditebang maka organisme didalamnya juga bisa mati bahkan punah.
Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pengaruh sosial ekonomi, dan budaya oleh pembangunan ekowisata di pantai minanga ini yaitu :
1)      Dengan adanya pembangunan cotage dan kantin dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat atau sebagai profesi sampingan bagi nelayan dan petani.
2)      Pembangunan ekowisata di pantai minaganjuga berpengaruh terhadap parameter fisika, kimia dan biologi. Parameter fisika meliputi pembangunan cottage, kantin, dan MCK dengan adanya bangunan ini tentunya berpengaruh terhadap lingkungan misalnya banyak sampah yang berserakan, merubah tata guna lahan, dan bisa saja mencemari perairan sekitar. Penebangan pohon dapat menyebabkan berkurangnya jumlah oksigen (O2), suhu lingkungan menjadi lebih panans, pembuangan limbah cair ke perairan (muara sungai)  ini merupakan contoh dari parameter kimia.
Parameter biologi yaitu segala aktivitas manusia yang mempengaruhi kehidupan biota atau organisme dalam suatu ekosistem.


DAFTAR PUSTAKA
Armos N.H, 2013. Studi Kesesuaian Laahan Pantai. Jurusan Ilmu Kelautan. FPIK.
UNHAS, Makasar.
Brown, 1996 dalam Prahartami, 2010. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Lautan.
FPIK. Malang
Dahuri et al., 1996 dalam Prahartami, 2010. Pengembangan Wilayah Pesisir dan
Lautan. FPIK. Malang
Fennell, D.A. 2008 dalam Fahriansyah Pembangunan Ekowisata. Faculty of
Fisheries and Marine Sciences. UNRI, Pekanbaru.
Tuwo, A. 2011. Pengelolaan ekowisata pesisir dan laut: pendekatan ekologi,
social ekonomi dan sarana wilayah. Surabaya.
Tarmid M, 2011. (http://muhammadtarmid.blogspot.com/2011/04/makalah-
ekowisata.html)
Sudiarta. (2011). Dampak Fisik dan Dampak Ekonomi terhadap Pengembangan
Pariwisata. Studi S2 Kajian Pariwisata, Universitas Udayana.
Yulianda, F. 2007. Ekowisata bahari sebagai alternatif pemanfaatan sumberdaya
pesisir berbasis konservasi. IPB, Bogor
WTO, 2002 dalam Fahriansyah, 2012. Pembangunan Ekowisata. Faculty of
Fisheries and Marine Sciences. UNRI, Pekanbaru